Tari Serimpi adalah jenis tarian tradisional Daerah Jawa Tengah. Tarian ini diperagakan oleh empat orang penari yang semuanya adalah wanita. Jumlah ini sesuai dengan arti kata serimpi yang berarti 4. Menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi empat penari sebagai simbol dari empat penjuru mata angin yakni Toya (air), Grama (api), Angin(udara) dan Bumi (tanah). Sedangkan nama peranannya adalah Batak, Gulu, Dhada dan Buncit yang melambangkan tiang Pendopo.
Nama serimpi sendiri oleh Dr. Priyono dikaitkan dengan akar kata “impi” atau mimpi. Gerakan lemah gemulai tarian serimpi yang berdurasi ¾ hingga 1 jam itu dianggap mampu membawa para penonton ke alam lain (alam mimpi). Konon, munculnya tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram, saat Sultan Agung memerintah antara 1613-1646. Dan tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton sebagai ritual kenegaraan hingga peringatan Naik Takhta Sultan.
Namun pada tahun 1775, ketika Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta, tari serimpipun kemudian terbagi menjadi dua aliran yakni gaya Kesultanan Yogyakarta dan Gaya Kesultanan Surakarta. Tari Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, Serimpi Genjung. Sedangkan di Kesultanan Surakarta digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.
Sebagai tari klasik di kalangan istana Yogyakarta, Tari Serimpi telah menjadi seni yang adhiluhung serta dianggap sebagai pusaka Kraton. Tema yang ditampilkan pada Tari Serimpi menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan yakni antara baik dan buruk, benar dan salah, akal manusia dan nafsu manusia. Ekspresi peperangan dalam tarian ini terlihat jelas dalam gerakan yang sama dari dua pasang prajurit ditunjang properti berupa senjata antara lain keris kecil atau cundrik, jebeng, tombak, jemparing dan pistol.
Kostum yang digunakan adalah kostum pengantin puteri Kraton Yogyakarta yakni dengan dodotan dan gelung bokor sebagai motif hiasan kepala. Namun seiring perkembangan jaman telah beralih menggunakan “kain seredan” dan baju tanpa lengan dengan hiasan kepala berjumbai bulu burung kasuari serta gelung dengan ornamen bunga ceplok dan jebehan.(Sumarti)
Sumber : media online
0 Comments