Karyabuatanku - Pondok Lirboyo adalah salah satu dari sekian banyak pondok salaf besar dan bersejarah di daerah Jawa Timur, khususnya Kediri. Pondok ini memiliki tiga orang tokoh berpengaruh dalam sejarah perkembangan pondok. Beliau bertiga adalah KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Ali serta KH. Marzuqi Dahlan. Pada tulisan kali ini, kita akan mengetahui kisah hikmah dari perbedaan Kiai Mahrus da Kiai Marzuqi dalam merujuk dhamir. Silahkan baca tulisan berikut ini untuk kisah selengkapnya.
Setiap ada dhamir yang terkesan rujuk pada
kalimat fi'il, maka KH. Mahrus Aly selalu merujukkan pada bentuk mashdarnya,
seperti lafadz:
اعدلوا هو اقرب للتقوى
Dhamir هو rujuknya
bukan pada lafadz اعدلوا,
melainkan rujuk pada lafadz عدلكم yang
menjadi bentuk mashdarnya. Sebab dhamir adalah kalimat isim, karenanya
marja'nya pun juga harus berupa kalimat isim, disamping memang yang dikehendaki
dari dhamir semacam itu adalah makna yang terkandung dari kalimat fi'il itu,
yaitu mashdarnya bukan lafadz dari kalimat fi'il itu sendiri.
Sementara KH. Marzuqi Dahlan tidaklah
demikian. Beliau selalu merujukkan dhamir pada kalimat fi'il, seperti pada ayat
di atas beliau memaknainya: هو utaw873456u32s, KH. Mahrus Aly sambil tersenyum
berkata:
من ارجع الضمائر الى
الافعال فليس من الرجال
"Barangsiapa merujukkan
kalimat-kalimat dhamir pada kalimat-kalimat fi'il, maka dia bukanlah seorang
laki-laki (orang yang mengerti tentang bahasa Arab)."
Tentu saja dawuh itu membuat santri-santri
yang sedang mengikuti pengajian beliau menjadi tersenyum semua.
Beberapa hari kemudian, ketika KH. Marzuqi
Dahlan sedang membacakan kitab dan ada dhamir yang seperti di atas, beliau
tetap merujukkan pada kalimat fi'il sambil berkata dengan tersenyum: "Wes,
ora lanang ora popo kang yo, seng penting ndang faham" (Sudahlah, tidak
dianggap laki-laki ya tidak apa-apa, yang penting segera bisa dipaham dan
dimengerti).
Hal itu tentu saja juga membuat para
santri yang mengikuti pengajian beliau jadi pada tertawa disertai dengan penuh
keheranan, dari mana beliau bisa tahu dawuhnya Kiai Mahrus Aly?
KH. Mahrus Aly memang jarang sekali
memberikan makna ketika membaca kitab, justeru beliau lebih sering memberikan
tafsiran dengan bahasa Arab pula, اي .. اي .. seperti itu. Sehingga hanya santri-santri yang sudah
punya bekal cukup dalam penguasan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah saja yang
mengikuti pengajian beliau. Karena itu beliau sangat disiplin dalam menerapkan
aturan-aturan tata bahasa Arab ketika membacakan kitab kepada mereka, termasuk
ketika merujukkan dhamir yang seperti contoh di atas.
Sementara KH. Marzuqi Dahlan selalu
memberikan makna yang lengkap ketika membacakan kitab. Sehingga yang mengikuti
pengajian beliau tidak hanya santri-santri yang sudah punya kemampuan cukup
saja, tetapi banyak pula diikuti oleh para santri yang masih tingkatan pemula.
Karena itu beliau lebih memilih pendekatan makna yang segera mudah dipahami
para santri yang mengikuti pengajian beliau meski sebenarnya itu kurang pas
dengan aturan tata bahasa Arab.
Sebab, menurut beliau, kalau setiap dhamir
dirujukkan pada bentuk mashdarnya tentu akan menyulitkan para santri tingkat
pemula dalam mencari rujuknya, terlebih ketika bentuk mashdarnya berbeda jauh
dengan bentuk fi'ilnya.
Walhasil, meski beliau berdua berbeda
metode dalam memberikan pengajian, tetapi tetap berdasar pada dawuh:
كلموا الناس على قدر
عقولهم
"Berbicaralah pada manusia sesuai
dengan kapasitas kemampuan mereka."
Itulah mungkin makna tersirat yang ingin
disampaikan beliau berdua terhadap para santrinya atas perbedaan dalam
merujukkan dhamir, bahwa dalam menyampaikan ilmu pada masyarakat kelak haruslah
menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan masyarakatnya. Wallahu a'lam.
(Sumber: AN Ang-hab).
Semoga bisa memetik hikmah dari cerita di atas. Alfatihah.
Sumber:
Muslimedianews - Hikmah Kiai Mahrus dan Kiai Marzuqi Berbeda dalam Merujuk Dhamir
0 Comments