Repotnya Jika Beragama dengan Hidung
Karyabuatanku - Salah satu faktor atau problem mendasar dari sejumlah kelompok Islam "unyu-unyu" yang hobi mengafirsesatkan, suka ngamukan, dan gemar "mayah-mayah" kepada orang dan kelompok lain itu karena mereka memahami agama dengan hidung bukan dengan otak dan akal-pikiran.
Lo kok bisa? Lihat saja dan perhatikan dengan seksama: setiap yang berbau kritis mereka anggap liberal, setiap yang berbau liberal mereka anggap sesat, setiap yang berbau demokratis mereka anggap Amerika, setiap yang berbau toleran mereka anggap Barat, setiap yang berbau Iran mereka anggap Syiah, setiap yang berbau Israel mereka anggap Yahudi, setiap yang berbau Amerika mereka anggap Kristen, setiap yang berbau Marxisme mereka anggap komunis, setiap yang berbau komunis mereka anggap ateis, dan seterusnya. Betulkan mereka beragama dengan hidung? he he
Kata mentor dan guru intelektual-spiritualku, Gus Dur, "agama kok dibauin" ya gak bakalan nyambung. Melihat kompleksitas agama dan budaya itu harus dengan "otak waras" dan akal-pikiran yang jernih, bukan dengan "hidung". Emang semur jengkol dibauin?
Jika umat beragama menggunakan akal-pikiran yang sehat dalam memahami realitas pluralitas kemanusiaan, kemajemukan kebudayaan, serta keragaman dan kompleksitas sejarah dan wacana keagamaan, maka mereka tidak akan gampang menuduh ini-itu, mengcap ini-itu, mengafirkan sana-sini, menyesatkan sana-sini, me-Neraka-kan orang ini dan itu dan seterusnya.
Bumi ini diciptakan oleh Tuhan untuk semua umat manusia dan mahluk hidup tanpa kecuali, bukan umat Islam saja. Jadi jangan ke-ge-er-an merasa jika Tuhan hanya "mengasihi umat Islam" saja dan planet bumi ini hanya untuk kaum Muslim saja sementara yang lain ngontrak. Begitu pula, Negara Indonesia ini ada karena telah diperjuangkan dengan susah-payah oleh para leluhur dan putra-putra bangsa dari berbagai suku dan agama karena itu jangan mentang-mentang mayoritas, terus umat Islam bisa berbuat seenaknya dengan kelompok agama lain.
Tuhan telah menciptakan dunia ini, termasuk bumi Indonesia, dengan keragaman, tugas manusialah sebagai "khalifah di muka bumi" ini untuk merawat dan menjaga keragaman itu...
Jabal Dhahran, Arab Saudi
Lo kok bisa? Lihat saja dan perhatikan dengan seksama: setiap yang berbau kritis mereka anggap liberal, setiap yang berbau liberal mereka anggap sesat, setiap yang berbau demokratis mereka anggap Amerika, setiap yang berbau toleran mereka anggap Barat, setiap yang berbau Iran mereka anggap Syiah, setiap yang berbau Israel mereka anggap Yahudi, setiap yang berbau Amerika mereka anggap Kristen, setiap yang berbau Marxisme mereka anggap komunis, setiap yang berbau komunis mereka anggap ateis, dan seterusnya. Betulkan mereka beragama dengan hidung? he he
Kata mentor dan guru intelektual-spiritualku, Gus Dur, "agama kok dibauin" ya gak bakalan nyambung. Melihat kompleksitas agama dan budaya itu harus dengan "otak waras" dan akal-pikiran yang jernih, bukan dengan "hidung". Emang semur jengkol dibauin?
Jika umat beragama menggunakan akal-pikiran yang sehat dalam memahami realitas pluralitas kemanusiaan, kemajemukan kebudayaan, serta keragaman dan kompleksitas sejarah dan wacana keagamaan, maka mereka tidak akan gampang menuduh ini-itu, mengcap ini-itu, mengafirkan sana-sini, menyesatkan sana-sini, me-Neraka-kan orang ini dan itu dan seterusnya.
Bumi ini diciptakan oleh Tuhan untuk semua umat manusia dan mahluk hidup tanpa kecuali, bukan umat Islam saja. Jadi jangan ke-ge-er-an merasa jika Tuhan hanya "mengasihi umat Islam" saja dan planet bumi ini hanya untuk kaum Muslim saja sementara yang lain ngontrak. Begitu pula, Negara Indonesia ini ada karena telah diperjuangkan dengan susah-payah oleh para leluhur dan putra-putra bangsa dari berbagai suku dan agama karena itu jangan mentang-mentang mayoritas, terus umat Islam bisa berbuat seenaknya dengan kelompok agama lain.
Tuhan telah menciptakan dunia ini, termasuk bumi Indonesia, dengan keragaman, tugas manusialah sebagai "khalifah di muka bumi" ini untuk merawat dan menjaga keragaman itu...
Jabal Dhahran, Arab Saudi
Oleh:
DR KH Sumanto Al Qurtubi MA
0 Comments